Ratna Kartika Irawati
UIN Antasari Banjarmasin
Setelah dikabarkan Coldplay akan manggung di Indonesia pada bulan
November nanti, maka antusias masyarakat untuk menyambutnya sangat terasa di
berbagai media sosial. Banyak berita, video maupun meme yang bermunculan
terkait band asal Inggris tersebut. Mulai dari tutorial war tiket sampai
guyonan tentang cuti massal di tanggal 15 November mendatang. Memang
menjadi kegembiraan tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk dapat menonton
secara langsung konser Coldplay. Konser yang mengusung tema Music of The
Spheres World Tour Coldplay dikabarkan mendukung program ramah lingkungan
dengan mengurangi jejak karbon, menggunakan fasilitas yang ramah sampai adanya
perjanjian reboisasi. Menarik bukan? Hal ini jelas menarik baik bagi para fans Coldplay
maupun FoMO Club.
Tidak hanya menarik bagi mereka, tetapi juga menarik bagi para pelaku
pengusaha. Setelah pandemi Covid-19 dua tahun lalu, adanya konser ini di
Indonesia dapat menggeliatkan kembali perputaran roda ekonomi. Pastinya hal ini
juga akan memberikan dampak positif dalam perkembangan ekonomi di Indonesia.
Sebagai contoh, hotel-hotel yang berada di dekat Stadion Gelora Bung Karno,
tempat konser Coldplay mendatang, telah habis dibooking tanggal 15
November oleh para penggemar Coldplay. Euforia konser Coldplay memang
terasa dimana-mana, terutama di Jakarta, tempat digelarnya konser tersebut. Hampir
semua tempat memutar lagu Coldplay, hingga membuat Jakarta menjadi pendengar
terbanyak lagu Colplay, mencapai 1,58 juta.
Walaupun banyak yang antusias menghadang Coldplay, ada juga yang tidak
setuju konser Coldplay diadakan di Indonesia. Hal ini karena tidak sesuai
budaya Indonesia yang berpedoman pada Pancasila. Dikhawatirkan, band asal
Inggris tersebut melalukan kampanye “Pelangi” yang jelas-jelas bertolak
belakang dengan ideologi Pancasila. Oleh sebab itu, pihak yang tidak setuju
memohon dan berharap agar konser tanggal 15 November nantinya dapat berjalan
aman, lancar dan bebas dari kampanye “Pelangi”.
Penjualan tiket yang dibuka mulai tanggal 17-18 Mei untuk BCA presale
dan 19 Mei 2023 untuk umum, menjadi moment yang ditunggu-tunggu bagi
para pemburu tiket. Tepat pukul 10.00 WIB pada tanggal 17 Mei 2023, presale
tiket telah dibuka dan sebanyak 500.000 orang sudah mengantri untuk war tiket.
Hasilnya, kurang dari 10 menit, tiket habis terjual bahkan untuk tiket Ultimate
Experience yang harganya cukup fantastis yaitu mencapai Rp. 11.000.000,00. Hal
ini membuktikan bahwa berita miring akan gagalnya konser Coldplay tidak berlaku
bagi penggemar Coldplay. Bahkan yang cukup menggelitik sebelum terjadinya war
tiket yaitu pernyataan di media sosial yang menyebutkan bahwa “Uang bisa
dicari, tapi Coldplay ke Indonesia cukup sekali”. Cukup menjadi bukti bahwa
kita boleh meminjam atau “ngutang” demi beli tiket konser idola kita.
Melihat hal tersebut, war tiket kali ini menjadi fenomena yang berbeda
dan luar biasa, lalu apa yang sebenarnya terjadi?
FoMO Club
Dari 500ribu orang yang war tiket, apakah semuanya merupakan para
fans Coldplay? Tentunya tidak. Dan setelah diusut, ternyata banyak juga orang
yang memiliki gejala FoMO yang masuk dalam antrian war tiket. Lalu apa
itu FoMO? Fear of Missing Out atau dalam bahasa kita, bermakna “takut ketinggalan
trend”. FoMO bukan fansclub asli, tetapi mereka yang hanya takut
dibilang tidak up to date. Tingkah laku ini merupakan bagian dari
gangguan kesehatan mental bagi seseorang yang merasa ketinggalan informasi yang
terus berkembang. Kebanyakan gangguan ini terjadi pada generasi milenial,
sebagai dampak bebasnya media sosial saat ini, yang menyebabkan takut dibilang
ketinggalan zaman. Alhasil, apa yang sedang viral atau trend di
media sosial, selalu diikuti “latah” dan takut tidak kekinian. Bahkan bisa
menyebabkan stress maupun depresi jika terjadi miss atau
ketinggalan informasi.
Berdasarkan reels yang diluncurkan oleh Bapak Ary Ginanjar,
menyebutkan bahwa ada dua ciri FoMO, pertama ingin eksis agar dibilang
kekinian dan mengikuti trends. Contohnya, jika para FoMO mengikuti war
tiket konser lalu upload di media sosial menggunakan foto maupun reels,
maka akan menjadi kepuasan tersendiri bagi mereka agar diketahui banyak orang
bahwa mereka tidak ketinggalan trends. Kedua, ingin relasi agar bisa diterima
di kelompok gaul. Bagi para kaum milenials, menjadi bagian kelompok gaul
merupakan hal yang diidam-idamkan. Mengikuti segala trends yang ada, hingga
merogoh kocek yang cukup dalam, akan dilakukan FoMO Club demi dipandang keren
oleh khalayak umum.
Tingkah laku FoMO sebenarnya sangat memungkinkan munculnya hidup
hedonisme. Segala sesuatu yang viral di media sosial, akan selalu diikuti demi
mengikuti trends yang ada dan menjadi eksistensi diri di masyarakat. Dalam
kasus war tiket, para FoMO akan berupaya untuk memperoleh tiket konser
Coldplay sekalipun tiket yang ada dijual dengan harga berkali-kali lipat. Ironisnya, kadang FoMO club ini tidak hapal
lagu bahkan tidak tahu menahu tentang Coldplay, tetapi mengikuti trends hanya
demi konten.
Calo
Bertebaran
Adanya FoMO Club ini sejatinya menjadi keuntungan tersendiri bagi para
pelaku ekonomi. Adanya FoMO Club, menyebabkan banyak calo yang menawarkan jastip
(jasa titip) pembelian tiket konser dengan harga berkali lipat dari harga
aslinya. Bisa jadi war tiket yang dilakukan oleh 500rbu orang itu lebih
banyak berisi FoMO Club dan calo tiket dibandingkan dengan fansclub asli
Coldplay. Bahkan, beberapa hari lalu, viral seorang public figure
menawarkan jastip melalui orang dalam untuk memperoleh tiket konser
Coldplay. Harga yang ditawarkan cukup fantastis, misalkan saja kelas Ultimate
Experience dengan harga 11 juta rupiah, dijualnya dengan harga 22 juta. Ada
juga yang menjual tiket kelas Ultimate Experience hingga harga 50juta.
Fantastis!
Fenomena yang menarik dimana penjualan tiket yang harusnya aman dan
terkendali menjadi ajang mencari untung bagi beberapa orang. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ignatius, dkk, menyatakan bahwa perilaku cemas
(FoMO) memiliki pengaruh terhadap conformity consumption behavior
(perilaku konsumsi). Dengan memanfaatkan tingkat kecemasan seseorang, pelaku
ekonomi dapat memperoleh keuntungan dengan pemasaran melalui media sosial
dengan teknik endorsing. Akibat informasi yang cepat tersebar di media
massa, ketergantungan media sosial menyebabkan tingkah laku FoMO semakin
bermunculan, membuat banyaknya calo yang ikut war tiket demi keuntungan
yang berlipat.
Gejala
Perilaku Konsumtif
Pada dasarnya sah-sah saja dalam pemenuhan kesenangan seseorang dicapai
dengan menonton konser. Seorang fans sejati, pasti akan berupaya untuk
bertemu dengan idolanya demi kepuasan dan kesenangan tersendiri. Tentunya hal
ini harus diimbangi dengan kemampuan financial yang cukup. Berbeda
dengan FoMO Club, yang akan berupaya untuk mengikuti trends sekalipun
mengeluarkan biaya yang cukup banyak tetapi untuk sesuatu yang tidak
dibutuhkan. Hal ini dapat menyebabkan adanya gejala konsumtif.
Pembelian barang yang sifatnya tidak urgent secara terus-menerus,
hanya untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat, dapat mengakibatkan gangguan financial.
Pada pembelian tiket konser hingga harga puluhan juta, rasanya menjadi hal yang
tidak masuk akal dan menunjukkan perilaku konsumtif yang berlebihan. Apalagi
jika pembelian tiket tersebut hanya dilakukan atas dasar “latah” dan gangguan
kecemasan karena takut dikatakan tidak kekinian. Lebih-lebih pembeliannya
dilakukan dengan menggunakan tabungan bahkan berhutang dengan yang lain. Bahaya
pula jika dilakukan oleh kaum milenials yang masih memiliki masa depan
yang panjang. Tentunya akan berdampak pada financial mereka ke depannya,
misalkan tidak memiliki tabungan, mudah berhutang hingga tidak mempunyai
rencana masa depan yang matang.
Pembelian tiket konser yang menguras kantong cukup dalam, harus
dipikirkan secara matang dan menentukan kebutuhan prioritas agar tidak terjadi
gangguan financial. Hal ini merupakan upaya agar tidak bertingkah laku
seperti FoMO yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku konsumtif. Selain itu
juga perlu adanya pembatasan penggunaan gadget dan media sosial agar
tidak mudah terpengaruh dengan gaya hidup orang lain.
0 Comments